“PERUBAHAN
PERSPEKTIF PADA MASYARAKAT JAWA SEKARANG TERKAIT DENGAN PRIMBON JAWA”
Pendahuluan
Perubahan
merupakan suatu hal yang mutlak terjadi, dalam arti setiap hal apapun pasti
mengalami perubahan. Termasuk pula dalam masyarakat, masyarakat pun mengalami
perubahan, yang sering disebut perubahan sosial dan juga perubahan kebudayaan.
Perubahan sosial, sebetulnya bukan merupakan satu titik, dua titik perubahan
sikap komunitas suatu masyarakat akibat berubahnya suatu tatanan masyarakat,
atau perubahan yang terjadi karena dipakainya idea-idea inovatif, tetapi suatu
gerak perubahan yang sangat besar dan maha dahsyat. Perubahan sosial sebagai
“cetak biru” pemikiran, pada akhirnya akan memiliki manfaat untuk memahami
kehidupan manusia dalam perkaitan dengan lingkungan budayanya (Agus Salim,
2002: 2-3).
Dalam
Agus Salim (2002: 10) juga dsebutkan bahwa perubahan sosial (social change)
memiliki cirri yaitu berlangsung terus menerus dari waktu ke waktu, apakah
direncanakan atau tidak yang terus terjadi tak tertahankan. Perubahan adalah
proses yang wajar, alamiah sehingga segala sesuatu yang ada di dunia ini akan
selalu berubah. Perubahan akan mencakup suatu sistem sosial, dalam bentuk
organisasi sosial yang ada di masyarakat, perubahan dapat terjadi dengan
lambat, sedang atau keras tergantung situasi yang mempengaruhinya.
Perubahan
juga terjadi pada masyarakat Jawa yakni semakin memudarnya kebudayaan jawa di
kalangan masyarakat jawa sekarang ini. Masyarakat jawa khususnya generasi muda
seperti kurang mengetahui dan memahami apa saja budaya jawa mereka sendiri.
Masyrakat jawa tentu terkenal dengan kejawaannya, mereka sangat memegang teguh
nilai-nilai luhur yang terkandung dalam budaya jawa.Pandangan hidup orang Jawa
sebagian besar di pengaruhi oleh tradisi besar, yang merupakan kebudayaan yang
bersumber dari istana. Sumber pandangan hidup orang Jawa berasal dari karya
sastra suci (serat, tembang, dan sebagainya) yang merupakan hasil dari karya
para pujangga, termasuk sumber yang utama adalah serat centhini (Wasino,
2008: 4-5).
Kebudayaan
Jawa dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, sejalan dengan perkembangan
masyarakat manusia sekarang ini yang semakin maju, saat ini sudah dianggap
kuno. Dianggap tidak relevan lagi dengan kehidupan masyarakat modern yang
semakin kompleks. Apalagi ketika dihadapkan dengan pemikiran-pemikiran yang
semakin logis, maka pandangan hidup orang Jawa yang selalu dianggap njlimet
dan kadang tidak masuk akal tersebut semakin ditinggalkan oleh masyarakat Jawa sendiri.
Seringkali,
orang Jawa golongan tua merasa lebih njawani dibanding generasi muda.
Golongan tua masih taat pada tatacara Jawa Mereka selalu berpusar pada
nilai-nilai kejawaan yang asli. Keengganan meninggalkan nilai kejawaan secara
tulus, didorong oleh rasa ingin melestarikan budaya miliknya. Sedangkan, yang
terjadi pada generasi muda atau orang Jawa zaman sekarang (modern), telah
terpengaruh nilai-nilai budaya luar (barat). Hal ini dapat merusak atau bahkan
menghilangkan nilai-nilai budaya tradisi yang ada. Dan hal ini bisa menyebabkan
lunturnya tradisi njawani (Endraswara, 2006: 4-5).
Kejawaan
orang Jawa bisa ditandai dengan suatu kepercayaan mereka terhadap Primbon Jawa sebagai salah satu budaya Jawa. Primbon ini oleh orang-orang
terdahulu dijadikan sebagai pedoman hidup,dalam melakukan segala sesuatu harus
melihat baik-buruknya terlebih dahulu sesuai primbon. Namun saat ini kebudayaan
jawa semakin tergerus oleh kemajuan
perkembangan manusia.Primbon adalah gudang ilmu pengetahuan (pangawikan
Jawa). Lalu, memunculkan paham primbonisme. Primbonisme
adalah jati diri kejawen (Endraswara, 2006: 118).
Primbon
Jawa memuat beberapa hal yang menjadi dasar segala tindakan manusia Jawa.
Tindakan-tindakan tersebut diantaranya adalah pernikahan, pendirian rumah
(bangunan), dan lain sebagainya. Interpretasi kitab Primbon tersebut biasanya
dilakukan dengan suatu sistem perhitungan yang disebut petungan.
Petungan ini dilaksanakan sebagai suatu ritual yang dijalankan oleh individu
yang bersangkutan dengan dibantu oleh seorang Dukun yang mengerti akan
peramalan nasib yang didasarkan pada kitab Primbon.
Tindakan yang bersumber
pada Primbon Jawa tersebut, yang memerlukan perhitungan hari dan sebagainya,
saat ini sudah semakin ditinggalkan masyarakat Jawa sendiri, terutama para
generasi muda. Padahal menurut pandangan masyarakat Jawa, primbon sebenarnya
memiliki tujuan agar kehidupan manusia bisa berlangsung selaras, agar tidak
terjadi ketidakseimbangan yang menimbulkan sesuatu hal yang tidak diinginkan.
Dan saat ini primbon mungkin hanya menjadi suatu syarat yang boleh tidak
dijalankan, seiring dengan lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap primbon
itu sendiri.
Ketika
primbon dianggap sebagai “alat” yang dapat menghindarkan manusia dari hal-hal
yang tidak diinginkan, di sisi lain primbon hanya akan “menghambat” tindakan
manusia itu sendiri. Oleh karena itu, keadaan inilah yang disebut dengan
kondisi liminal, “tidak disini dan juga tidak disana”. Hal inilah yang
menyebabkan masyarakat masih ada yang menggunakan primbon dalam mendasari
tindakan masyarakat. Namun mereka tidak mengetahui makna dari tindakan yang
dijalankan tersebut. Primbon digunakan hanya untuk mewarisi tradisi yang telah
ada dan masih terus dijalankan, baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam
lingkungan masyarakat.
Pergeseran
nilai-nilai budaya yang terkait dengan primbon ini, merupakan suatu
permasalahan yang timbul dalam masyarakat Jawa di era modern. Masyarakat Jawa
sendiri saat ini dihadapkan pada kewajiban melestarikan warisan budayanya,
tetapi juga dihadapkan pada kenyataan era globalisasi dan modernisasi seperti
sekarang yang menuntut pola pikir realistis.
Maka dari itu,
diperlukan suatu gambaran yang jelas mengenai penggunaan primbon dalam
masyarakat Jawa baik itu masyarakat Jawa “kuno” maupun masyarakat Jawa modern.
Untuk mengetahui secara jelas tujuan dan manfaat dari pengimplementasian kitab
primbon dalam kehidupan masyarakat Jawa. Masihkah relevan jika digunakan pada
masa sekarang yang notabene sudah modern ini.
Rumusan Masalah
Masalah
yang hendak dibahas adalah
1.
Apakah fungsi Primbon Jawa dalam
kehidupan msayarakat(Jawa) ?
2.
Bagaimanakah perspektif masyarakat Jawa
sekarang mengenai primbon sebagai salah satu budaya jawa?
Tujuan
penulisan
Tujuan peulisan paper ini adalah untuk mendeskripsikan
mengenai Primbon Jawa sebagai salah satu budaya Jawa dalam kehidupan masyarakat
Jawa sekarang seiring dengan perkembangan zaman yang semakin maju.
Tinjauan
Pustaka
Pengertian
Primbon
Kata
primbon berasal dari kata dasar imbu yang berarti “memeram buah agar
matang”, yang kemudian mendapat imbuhan “pari” dan akhiran “an” sehingga
terbentuk kata primbon. Secara umum, primbon diartikan sebagai buku yang
menyimpan pengetahuan tentang berbagai hal. Wojowasito dan Peorwadarminta
(1980: 211) memberikan definisi primbon sebagai “buku yang memuat astrologi dan
mantera”.
Dalam
Endraswara (2006: 118) disebutkan bahwa primbon adalah gudang ilmu pengetahuan,
yang memunculkan paham primbonisme yang merupakan jatidiri kejawen, karena
segala gerak dan sepak terjang hidup akan bertumpu pada “kitab tersebut. Corak
kehidupan yang primbonis ini tergolong tradisional. Karenanya, orang Jawa yang
menganut paham ini sering ditidih kurang modernis.
Primbon
amat lengkap memuat berbagai hal; tentang persoalan hidup. Biasanya, primbon
tersebut bersifat anonym. Kalau ada nama yang tertera, sebagian besar hanya
penghimpun saja. Karena itu, primbon termasuk kitab yang menjadi timbunan
berbagai ngelmu kejawen. Mungkin, kandungan primbon berasal dari
leluhur, dari kitab-kitab suluk, kitab-kitab wirid, dan sastra ajaran yang
lain. Primbon termaksud ada yang disakralkan, sehingga setiap Malam Selasa
Kliwon dan Malam Jemuwah Kliwon juga diberi kutukan kemenyan. Bahkan ada
diantara orang Jawa yang membungkus primbon dengan kain mori, diletakkan pada
tempat khusus yang tak boleh dibuka oleh anak kecil (Endraswara, 2006:
118-119).
Isi
primbon berupa aneka ragam pengetahuan yang berkaitan dengan kebutuhan
sehari-hari untuk tujuan mendapatkan keselamatan (Sutrisno, 1961: 3). Secara
garis besar primbon berisi masalah yang berhubungan dengan kelahiran,
perkawinan, kematian, dan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan hubungan
manusia dengan alam (Subalidinata, 1985: 55), termasuk diantaranya tentang
penyakit dan pengobatannya.
Primbon
pada zaman dahulu dipakai sebagai acuan penting dalam menentukan sebuah
peringatan (kematian, kelahiran, sukuran, membangun rumah dan sebagainya)
karena dianggap sebagai sesuatu yang menyangkut
kehidupan kedepan/masa depan individu. Pada zaman dahulu juga masyarakat
Jawa masih berpegang teguh pada nilai-nilai yang diwariskan oleh generasi
pendahulu, karena seperti yang telah disebutkan diatas, ada suatu perasaan
patuh yang didasarkan pada tiga konsep sifat orang Jawa yaitu wedi, isin dan
sungkan. Ketiga sifat inilah yang mungkin melatarbelakangi masih
digunakannya primbon pada masa sekarang ini.
Primbon
mempunyai sejarah yang cukup panjang di dalam tradisi Jawa. Setidak-tidaknya
pada abad ke-8, suku Jawa telah mengenal primbon yang terbukti dari adanya
prasasti di Candi Perot (772), Haliwangbang (779), dan Kudadu (1216)
(Subalidinata, 1985: 52-53). Namun, primbon terlengkap dalam tradisi Jawa baru
ditulis pada zaman Kartasura berupa Serat Centhini. Karena itu, di
samping dapat dikatakan sebagain salah satu perwujudan primbon, serat ini juga
dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk ensiklopedi khas Jawa.
Berbagai
jenis resep obat dan pengobatan juga terdapat dalam Serat Centhini. Hal
ini dapat dimengerti karena serat ini merupakan serat yang berupa akumulasi
berbagai pengetahuan dari berbagai sumber. Serat Centhini ditulis atas
perintah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunegara III yang memerintah Surakarta (1820-1823). Dia
adalah putra Ingkang Sinuhun Paku Buwono IV (1788-1820). Yang memimpin
penyusunan serat ini adalah Ki Ngabehi Ranggasutrasna. Yang mendampingi adalah
Raden Ngabehi Yasadipura, Raden Ngabehi Sastradipura. Yang membantu adalah
Pangeran Jungut Mandurareja dari Klaten, Kiai Mohammad Minhad dari Surakarta (Amangkunegara
III, 1992: iii-iv dalam Sudardi, 2002: 13).
Masyarakat Jawa
Yang
disebut orang Jawa adalah orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa. Ritus
religius sentral orang Jawa adalah slametan, yang terungkap nilai-nilai
yang dirasakan paling mendalan oleh orang Jawa yaitu nilai kebersamaan,
ketetanggaan, dan kerukunan. Dalam sistem kekerabatan orang Jwa keturunan dari
ibu dan ayah dianggap sama haknya, dan warisan anak perempuan sama dengan
warisan anak laki-laki. Tatanan tradisional terpenting di atas keluarga adalah
desa yang berdiri sendiri. Desa merupakan basis agraris masyarakat Jawa.
Hubungan sosial didesa sebagian besar berdasarkan sistem gotong royong yang
mengenal berbagai bentuk tradisional. Walaupun gotong royong tidak terbatas
pada hubungan keluarga namun sistem itu oleh orang desa dipahami sebagai perluasan
hubungan kekerabatan yang mempunyai pengaruh kuat atas seluruh kompleks
hubungan interpersonal di seluruh desa. Masyarakat
Jawa sekarang ini adalah masyarakat yang hidup pada saat ini seiring dengan
perkembangan dan kemajuan zaman
Teori Fungsionalisme Struktural
Teori ini memandang masyarakat merupakan suatu sistem
sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling
berkaitan.Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan pula
terhadap bagian yang lain.Asumsi dasarnya adalah setiap struktur dalam sistem
sosial fungsional terhadap yang lain.(George Ritzer,soiologi ilmu pengetahuan berparadigma ganda 2009:21).Jika
teori ini dikaitkan dengan keberadaan primbon jawa ditengah-tengah masyarakat
jawa sekarang maka ada semacam perubahan di dalamnya di mana masyarakat Jawa
sekarang lebih dituntut untuk berpikir secara rasional dengan mengesampingkan
segala hal yang terjadi pada kehidupan sosialnya tidak lagi dikaitkan dengan
primbon.Hal ini berakibat masayarakat Jawa sekarang mulai meninggalkan primbon
Jawa dengan segala isinya yang oleh masyarakat Jawa terdahulu sangat diyakini
kebenarannya.
Pembahasan
Fungsi
Primbon
Isi
primbon yang berupa aneka ragam pengetahuan yang berkaitan dengan kebutuhan
sehari-hari untuk tujuan mendapatkan keselamatan (Sutrisno, 1961: 3). Kendati
sistem dalam primbon yang berbelit-belit, namun pada konsep ini terletak konsep
metafisis orang Jawa yang fundamental: cocog. Cocog berarti
sesuai, sebagaimana kesesuain kunci dengan gembok, obat mujarab dengan
penyakit, suatu pemecahan untuk soal matematik, serta persesuaian seorang pria
dengan wanita yang dinikahinya (kalau tidak mereka bercerai). Sebagaimana dalam
suatu harmoni, hubungan yang paling tepat adalah terpastikan, tertentu dan bisa
diketahui. Sistem petungan dalam primbon misalnya, memberikan suatu jalan untuk
menyatakan hubungan ini dan dengan demikian menyesuaikan perbuatan seseorang
dengan sistem itu. Petungan adalah salah satu bentuk dari primbon yang
merupakan cara untuk menghindarkan semacam disharmoni dengan tatanan umum alam
yang hanya akan membawa ketidakuntungan (Clifford Geertz, 1989: 38-39).
Pada
intinya, fungsi primbon bagi kehidupan masyarakat terutama masyarakat Jawa yang
mempercayainya adalah suatu usaha untuk menghindarkan diri dari bencana atau
malapetaka yang disebabkan ketidakseimbangan dan ketidakselarasan antara alam.
Seperti misalnya pada perhitungan nikah (Endraswara, 2006: 115) menunjukkan
bahwa orang Jawa begitu besar dalam memperhatikan keselamatan, sehingga pada
akhirnya akan tergolong orang beruntung (begja).
Perspektif
Masyarakat Jawa Terhadap Primbon
Perubahan
merupakan proses yang wajar, alamiah sehingga segala sesuatu yang ada di dunia
ini akan selalu berubah. Perubahan sosial sebagai “cetak biru” pemikiran, pada
akhirnya akan memiliki manfaat untuk memahami kehidupan manusia dalam perkaitan
dengan lingkungan kebudayaannya. Perubahan sosial bukan lagi akibat pembangunan
yang sedang gencar dilakukan oleh seperangkat birokrasi pemerintah, tetapi
suatu bentuk perubahan yang benar-benar menjadi keinginan organisme sosial
dalam bentuknya yang wajar (alamiah) (Agus Salim, 2002: 2-10).
Begitu pula yang
terjadi pada makna primbon yang ada pada pandangan masyarakat Jawa sendiri.
Masyarakat Jawa sekarang sudah tidak sepenuhnya menggunakan primbon sebagai
landasan mereka dalam menjalani kehidupan.
Orang
Jawa yang masih mengagungkan kebudayaannya tidak pernah lepas dari primbon.
Pada masa sekarang ini, di tengah-tengah perkembangan dan kemajuan zaman masih
ada sebagian orang Jawa yang selalu memakia primbon sebagai pedoman atau
landasan mmereka ketika akan menjalankan
acara-acara penting agar pada saat hari pelaksanaannya diberi kelancaran dan
keselamatan. Seperti ketika terdapat keluarga Jawa yang akan menggelar acara
pernikahan. Jika keluarga tersebut termasuk keluarga yang masih kental adat
Jawanya, sebelum menentukan hari pelaksanaan pernikahan, tentu saja diawali
dengan petungan-petungan tertentu dalam sesuai primbon.
Primbon pun sekarang
dianggap masih fungsional bagi masyarakat. Meskipun tidak sepenuhnya mereka
“tunduk” pada ketentuan-ketentuan yang ada pada primbon tersebut, namun mereka
masih menggunakannya sebagai landasan dalam mengawali tindakannya. Namun,
alasan mereka tetap menjalankan perhitungan primbon tersebut hanya karena
mewarisi apa yang sudah ada pada keluarganya turun temurun, sehingga mereka
sendiri terkadang tidak tahu makna dibalik dilakukan perhitungan tersebut.
Sedangkan alasan lain adalah perhitungan primbon ini hanya dipakai sebagai
bahan pertimbangan baik tidaknya tindakan yang akan dijalani. Maka dari itu,
daripada mengalami hal-hal yang tidak diinginkan, masyarakat pun terutama
masyarakat Jawa tetap menggunakan dan mematuhi perhitungan dalam primbon, agar
selalu diberi keselamatan dan agar kehidupannya selaras baik dengan sesamanya,
dengan alam lingkungan maupun dengan alam adi kodrati.
Akan
tetapi orang Jawa saat ini (modern) dijelaskan dalam (Endraswara, 2006: 4-5)
telah terpengaruh nilai-nilai budaya barat yang dapat merusak nilai-nilai
budaya dan tradisi yang ada. Kontak antarbudaya satu dengan yang lain, dari
detik ke detik akan memoles orang Jawa dan melunturkan tradisi njawani
kearah lain.
Pada intinya, perubahan
dalam masyarakat Jawa sekarang ini yang kurang begitu memaknai primbon sebagai
pedoman hidup dilatarbelakangi oleh pengaruh kebudayaan modern yang masuk.
Sedangkan kebudayaan modern tersebut menuntut rasionalitas berpikir. Pengaruh
yang lain bersumber dari ajaran agama yang mempercayai apa yang telah
digariskan Tuhan.
Masalah mengenai
masyarakat jawa sekarang masihkah percaya atau tidak dengan primbon yang oleh
orang jawa terdahulu dipakai sebagai patokan bagaimana berperilaku dan
bertindak dalam kehidupan sehari-hari menjadi dilematis, di satu sisi
masyarakat Jawa sekarang hidup di era perkembangan zaman yang semakin maju,
namun di lain sisi mereka dituntut untuk
melesarikan budaya Jawanya.Di tengah era perkembangan zaman yang semakin maju
dituntut untuk hidup dengan berpikir secara logis atau masuk akal, akan tetapi
dalam budaya Jawa yaitu Primbon, menjadi pegangan hidup orang-orang Jawa
terdahulu(kuno) dalam kehidupan sehari-hari.Hal
ini dilakukan dengan tujuan agar tidak
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan misalnya, dalam hal pernikahan harus
dilihat hari yang tepat untuk melangsungkan pernikahan agar pasangan hidup
rukun dan sejahtera. Akan tetapi perihal primbon Jawa jika dihadapkan dengan
perkembangan zaman sekarang ini dianggap tidak logis.Manusia zaman sekarang
lebih melihat segala susuatu yang terjadi memang seharusnya terjadi,tidak
dikaitkan dengan apapun. Mengenai primbon jawa orang jawa sekarang pun kurang
begitu paham akan hali itu,mungkin hanya orang-orang jawa tertentu yang
benar-benar mengrti.Ditambah lagi di era maju seperti sekarang ini banyak
budaya-budaya asing yang masuk ke Indonesia yang kemungkinan mempengaruhi
budaya-budaya local seperti budaya Jawa,sehingga masayarakat Jawa sekarang
kurang mengenal bahkan tidak paham nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam
budaya Jawa.
Berbicara mengenai primbon seabagai salah satu dari sekian
banyak budaya Jawa, tidak heran masyarakat Jawa sekarang ini tidak begitu
mempercayainya karena mereka sudah hidup di zaman yang maju seperti sekaarng
ini ditambah lagi keyakinan terhadap agama mereka masig-masing.Hal-hal yang
berbau semacam itu mungkin sudah mereka tinggalkan.Primbon sebagai budaya Jawa
memang sekarang ini agak ditinggalkan karena dianggap isi didalamnya terlalu
njlimet dengan aturan-aturan tertentu yang menuntut mereka(masyarakat Jawa
sekarang) harus seperti ini dan itu dalam berkehidupan sehari-hari dan dianggap
tidak rasional atau tidalk logis.Hal tersebut terjadi pada masyarakat Jawa
sekarang karena pengaruh perkembangan dan kemajuan zaman yang dituntut untuk
berpikiran rasional atau logis.
Dalam
menerima kenyataan bahwa pandangan masyarakat Jawa pada masa sekarang telah
berubah terhadap kebudayaan “Primbon Jawa” dilatarbelakangi oleh adanya
pengaruh budaya modern dan juga ajaran agama, maka agar terjadi keseimbangan
antara pelestarian nilai-nilai budaya dan juga tuntutan zaman, maka Primbon
boleh dipelajari dengan menjadikannya sebagai sebuah referensi budaya untuk
memahami manusia Jawa, mengenai bagaimana pola pikir dan falsafah hidupnya.
Hanya untuk sekedar tahu dan untuk melestarikan salah satu hasil kebudayaan Jawa,
agar tidak sirna termakan arus kemoderenan zaman.
Adapun 3 tahap dalam mengatasi permasalahan mengenai kebenaran
primbon jika dihadapkan dengan kehidupan masyarakat Jawa sekarang ini
berdasarkan penjelasan di atas, antara lain :
1.
Tahap
Identifikasi
Bahwa dijelaskan
masyarakat Jawa sekarang kurang begitu percaya akan Primbon Jawa sebagai
landasan mereka dalam bertindak sehari-hari.Primbon berisi bagaimanaseseorang
atau suatu masyarakat harus bertindak agar terhindar dari celaka dengan
aturan-aturan tertentu sesuai dengan apa yang akan dilakukan.
2.
Tahap
Diagnosis
Masyarakat Jawa
sekarang lebih dituntut untuk berpikiran secara logis atau lebih rasional
sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman sekarang dengan tidak mengaitkan
segala hal yang terjadi pada diri manusia(msayarakat) entah baik maupun buruk
sebagai akibat mereka tidak memperhitungkan primbon yang ada pada masyarakat
Jawa dalam melandasi tindakan yang akan atau sudah dilakukan.
3.
Tahap
Treatmen
Dalam mennanggapi
masalah antara kebenaran primbon jika dihadapkan dengan kehidupan sekarang ini,
di mana masyarakat Jawa sekarang harus berpikir secara logis dengan segala hal
yang akan dilakukan sesuai perkembangan zaman yang sudah maju , namun sebagai
masyarakat jawa dituntut pula untuk melestarikan budaya Jawa salah satunya
adalah Primbon Jawa.Oleh karena itu, solusi yang harus dilakukan masyarakat
jawa sekarang tetap dengan pikiran mereka yang logis dalam menanggapi sesuatu
hal yang terjadi dalam kehidupan,akan tetapi sebagai masyarakat Jawa juga harus
tetap melestarikan budaya Jawa dalam hal ini
primbon, dengan cara primbon jawa boleh dipelajari sebagai referensi budaya
untuk memahami manusia Jawa dengan segala pola pikir dan falsafah
hidupnya agar budaya Jawa tidak hilang sejalan dengan kemajuan zaman.
Kesimpulan
Pada masyarakat Jawa sekarang ini istilah Primbon Jawa sebagai
salah satu budaya Jawa sudah mulai ditinggalkan karena dianggap kurang rasional
jika dihadapkan dengan kehidupan manusia sekarang ini dan dianggap terlalu
njlimet oleh masyarakat Jawa sendiri dengan aturan-aturan tertentu yang
mengharuskan mereka harus seperti ini dan itu. Akan tetapi ada pada sebagian masyarakat Jawa,
Primbon dianggap masih fungsional bagi kehidupan mereka sekarang ini. Meskipun
tidak sepenuhnya mereka “tunduk” pada ketentuan-ketentuan yang ada pada primbon
tersebut, namun mereka masih menggunakannya sebagai landasan dalam mengawali
tindakannya. Meskipun demikian primbon Jawa sebagai salah satu dari sekian
budaya jawa harus tetap dilestarikan sebagai referensi budaya agar tidak hilang
keberadaanya di zaman yang sudah maju seperti sekarang ini.
Adapun
3 tahap dalam mengatasi permasalahan mengenai kebenaran primbon jika dihadapkan
dengan kehidupan masyarakat Jawa sekarang ini berdasarkan penjelasan di atas,
antara lain :
1.Tahap
Identifikasi
Bahwa dijelaskan
masyarakat Jawa sekarang kurang begitu percaya akan Primbon Jawa sebagai
landasan mereka dalam bertindak sehari-hari.Primbon berisi bagaimanaseseorang
atau suatu masyarakat harus bertindak agar terhindar dari celaka dengan
aturan-aturan tertentu sesuai dengan apa yang akan dilakukan.
2.Tahap
Diagnosis
Masyarakat Jawa
sekarang lebih dituntut untuk berpikiran secara logis atau lebih rasional
sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman sekarang dengan tidak mengaitkan
segala hal yang terjadi pada diri manusia(msayarakat) entah baik maupun buruk
sebagai akibat mereka tidak memperhitungkan primbon yang ada pada masyarakat
Jawa dalam melandasi tindakan yang akan atau sudah dilakukan.
3.Tahap
Treatmen
Dalam mennanggapi
masalah antara kebenaran primbon jika dihadapkan dengan kehidupan sekarang ini,
di mana masyarakat Jawa sekarang harus berpikir secara logis dengan segala hal
yang akan dilakukan sesuai perkembangan zaman yang sudah maju , namun sebagai
masyarakat jawa dituntut pula untuk melestarikan budaya Jawa salah satunya
adalah Primbon Jawa.Oleh karena itu, solusi yang harus dilakukan masyarakat
jawa sekarang tetap dengan pikiran mereka yang logis dalam menanggapi sesuatu
hal yang terjadi dalam kehidupan,akan tetapi sebagai masyarakat Jawa juga harus
tetap melestarikan budaya Jawa dalam hal ini
primbon, dengan cara primbon jawa boleh dipelajari sebagai referensi
budaya untuk memahami manusia Jawa dengan segala pola pikir dan falsafah
hidupnya agar budaya Jawa tidak hilang sejalan dengan kemajuan zaman.
DAFTAR
PUSTAKA
Endraswara, Suwardi. 2006. Falsafah
Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala
Geertz, Clifford. 1989. Abangan,
Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (The Religion of Java). Jakarta: Pustaka Jaya
Salim, Agus. 2002. Perubahan
Sosial: Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia. Yogyakarta:
Tiara Wacana
Subalidinata, R.S. 1985. “Primbon
dalam Kehidupan Masyarakat Jawa”. Dalam soedarsono dkk. (Editor). Aksara
dan Ramalan Nasib dalam Kebudayaan Jawa. Yogyakarta:
Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara(Javanologi), Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan
Sudardi, Bani. 2002. Konsep
Pengobatan Tradisional Menurut Primbon Jawa. Dalam http: //www…………………..
(Diunduh pada 31 Maret 2008)
Sutrisno, Eddy T. 1961. Primbon
Djawi Adji Wara. Surakarta:
Mas
Tjakraningrat, Kanjeng Pangeran
Harya. 1983. Kitab Primbon Bektijammal-Adammakna Ayah-Betaljemur
(cetakan 2). Yogyakarta: Soemadidjojo Mahadewa
Wasino. 2007. Pandangan Hidup
Orang Jawa di Era Global. Bahan Diskusi dalam Seminar Kebudayaan Nasional:
Dinamika Sos&Ant Terpadu, Himpro Sosiologi dan Antropologi, Fakultas Ilmu
Sosial, Universitas Negeri Semarang
Wojowasito dan Poerwadarminta, WJS.
1980. Kamus Lengkap. Bandung:
Hasta
Ritzer,george.2009.Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma
Ganda.Jakarta: Rajawali Pers.
PAPER

PERUBAHAN PERSPEKTIF PADA
MASYARAKAT JAWA SEKARANG TERKAIT DENGAN PRIMBON JAWA
Untuk Mengganti Ujian Akhir Smester Mata Kuliah
Sosiologi Terapan
Oleh :
Galih Mahardika Christian Putra
3401409065
JURUSAN SOSIOLOGI DAN
ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar