Sabtu, 26 November 2011

TUGAS SOSIOLOGI TERAPAN


“PERUBAHAN PERSPEKTIF PADA MASYARAKAT JAWA SEKARANG TERKAIT DENGAN PRIMBON JAWA”

Pendahuluan
Perubahan merupakan suatu hal yang mutlak terjadi, dalam arti setiap hal apapun pasti mengalami perubahan. Termasuk pula dalam masyarakat, masyarakat pun mengalami perubahan, yang sering disebut perubahan sosial dan juga perubahan kebudayaan. Perubahan sosial, sebetulnya bukan merupakan satu titik, dua titik perubahan sikap komunitas suatu masyarakat akibat berubahnya suatu tatanan masyarakat, atau perubahan yang terjadi karena dipakainya idea-idea inovatif, tetapi suatu gerak perubahan yang sangat besar dan maha dahsyat. Perubahan sosial sebagai “cetak biru” pemikiran, pada akhirnya akan memiliki manfaat untuk memahami kehidupan manusia dalam perkaitan dengan lingkungan budayanya (Agus Salim, 2002: 2-3).

Dalam Agus Salim (2002: 10) juga dsebutkan bahwa perubahan sosial (social change) memiliki cirri yaitu berlangsung terus menerus dari waktu ke waktu, apakah direncanakan atau tidak yang terus terjadi tak tertahankan. Perubahan adalah proses yang wajar, alamiah sehingga segala sesuatu yang ada di dunia ini akan selalu berubah. Perubahan akan mencakup suatu sistem sosial, dalam bentuk organisasi sosial yang ada di masyarakat, perubahan dapat terjadi dengan lambat, sedang atau keras tergantung situasi yang mempengaruhinya.

Perubahan juga terjadi pada masyarakat Jawa yakni semakin memudarnya kebudayaan jawa di kalangan masyarakat jawa sekarang ini. Masyarakat jawa khususnya generasi muda seperti kurang mengetahui dan memahami apa saja budaya jawa mereka sendiri. Masyrakat jawa tentu terkenal dengan kejawaannya, mereka sangat memegang teguh nilai-nilai luhur yang terkandung dalam budaya jawa.Pandangan hidup orang Jawa sebagian besar di pengaruhi oleh tradisi besar, yang merupakan kebudayaan yang bersumber dari istana. Sumber pandangan hidup orang Jawa berasal dari karya sastra suci (serat, tembang, dan sebagainya) yang merupakan hasil dari karya para pujangga, termasuk sumber yang utama adalah serat centhini (Wasino, 2008: 4-5).

Kebudayaan Jawa dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, sejalan dengan perkembangan masyarakat manusia sekarang ini yang semakin maju, saat ini sudah dianggap kuno. Dianggap tidak relevan lagi dengan kehidupan masyarakat modern yang semakin kompleks. Apalagi ketika dihadapkan dengan pemikiran-pemikiran yang semakin logis, maka pandangan hidup orang Jawa yang selalu dianggap njlimet dan kadang tidak masuk akal tersebut semakin ditinggalkan oleh masyarakat  Jawa sendiri.

Seringkali, orang Jawa golongan tua merasa lebih njawani dibanding generasi muda. Golongan tua masih taat pada tatacara Jawa Mereka selalu berpusar pada nilai-nilai kejawaan yang asli. Keengganan meninggalkan nilai kejawaan secara tulus, didorong oleh rasa ingin melestarikan budaya miliknya. Sedangkan, yang terjadi pada generasi muda atau orang Jawa zaman sekarang (modern), telah terpengaruh nilai-nilai budaya luar (barat). Hal ini dapat merusak atau bahkan menghilangkan nilai-nilai budaya tradisi yang ada. Dan hal ini bisa menyebabkan lunturnya tradisi njawani (Endraswara, 2006: 4-5).

Kejawaan orang Jawa bisa ditandai dengan suatu kepercayaan mereka terhadap Primbon Jawa sebagai salah satu  budaya Jawa. Primbon ini oleh orang-orang terdahulu dijadikan sebagai pedoman hidup,dalam melakukan segala sesuatu harus melihat baik-buruknya terlebih dahulu sesuai primbon. Namun saat ini kebudayaan jawa  semakin tergerus oleh kemajuan perkembangan manusia.Primbon adalah gudang ilmu pengetahuan (pangawikan Jawa). Lalu, memunculkan paham primbonisme. Primbonisme adalah jati diri kejawen (Endraswara, 2006: 118).

Primbon Jawa memuat beberapa hal yang menjadi dasar segala tindakan manusia Jawa. Tindakan-tindakan tersebut diantaranya adalah pernikahan, pendirian rumah (bangunan), dan lain sebagainya. Interpretasi kitab Primbon tersebut biasanya dilakukan dengan suatu sistem perhitungan yang disebut petungan. Petungan ini dilaksanakan sebagai suatu ritual yang dijalankan oleh individu yang bersangkutan dengan dibantu oleh seorang Dukun yang mengerti akan peramalan nasib yang didasarkan pada kitab Primbon.

Tindakan yang bersumber pada Primbon Jawa tersebut, yang memerlukan perhitungan hari dan sebagainya, saat ini sudah semakin ditinggalkan masyarakat Jawa sendiri, terutama para generasi muda. Padahal menurut pandangan masyarakat Jawa, primbon sebenarnya memiliki tujuan agar kehidupan manusia bisa berlangsung selaras, agar tidak terjadi ketidakseimbangan yang menimbulkan sesuatu hal yang tidak diinginkan. Dan saat ini primbon mungkin hanya menjadi suatu syarat yang boleh tidak dijalankan, seiring dengan lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap primbon itu sendiri.


Ketika primbon dianggap sebagai “alat” yang dapat menghindarkan manusia dari hal-hal yang tidak diinginkan, di sisi lain primbon hanya akan “menghambat” tindakan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, keadaan inilah yang disebut dengan kondisi liminal, “tidak disini dan juga tidak disana”. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat masih ada yang menggunakan primbon dalam mendasari tindakan masyarakat. Namun mereka tidak mengetahui makna dari tindakan yang dijalankan tersebut. Primbon digunakan hanya untuk mewarisi tradisi yang telah ada dan masih terus dijalankan, baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan masyarakat.

Pergeseran nilai-nilai budaya yang terkait dengan primbon ini, merupakan suatu permasalahan yang timbul dalam masyarakat Jawa di era modern. Masyarakat Jawa sendiri saat ini dihadapkan pada kewajiban melestarikan warisan budayanya, tetapi juga dihadapkan pada kenyataan era globalisasi dan modernisasi seperti sekarang yang menuntut pola pikir realistis.
Maka dari itu, diperlukan suatu gambaran yang jelas mengenai penggunaan primbon dalam masyarakat Jawa baik itu masyarakat Jawa “kuno” maupun masyarakat Jawa modern. Untuk mengetahui secara jelas tujuan dan manfaat dari pengimplementasian kitab primbon dalam kehidupan masyarakat Jawa. Masihkah relevan jika digunakan pada masa sekarang yang notabene sudah modern ini.


     Rumusan Masalah     
Masalah yang hendak dibahas adalah
1.      Apakah fungsi Primbon Jawa dalam kehidupan msayarakat(Jawa) ?
2.      Bagaimanakah perspektif masyarakat Jawa sekarang mengenai primbon sebagai salah satu budaya jawa?

Tujuan penulisan
       Tujuan peulisan paper ini adalah untuk mendeskripsikan mengenai Primbon Jawa sebagai salah satu budaya Jawa dalam kehidupan masyarakat Jawa sekarang seiring dengan perkembangan zaman yang semakin maju.



Tinjauan Pustaka

Pengertian Primbon  
Kata primbon berasal dari kata dasar imbu yang berarti “memeram buah agar matang”, yang kemudian mendapat imbuhan “pari” dan akhiran “an” sehingga terbentuk kata primbon. Secara umum, primbon diartikan sebagai buku yang menyimpan pengetahuan tentang berbagai hal. Wojowasito dan Peorwadarminta (1980: 211) memberikan definisi primbon sebagai “buku yang memuat astrologi dan mantera”.

Dalam Endraswara (2006: 118) disebutkan bahwa primbon adalah gudang ilmu pengetahuan, yang memunculkan paham primbonisme yang merupakan jatidiri kejawen, karena segala gerak dan sepak terjang hidup akan bertumpu pada “kitab tersebut. Corak kehidupan yang primbonis ini tergolong tradisional. Karenanya, orang Jawa yang menganut paham ini sering ditidih kurang modernis.
Primbon amat lengkap memuat berbagai hal; tentang persoalan hidup. Biasanya, primbon tersebut bersifat anonym. Kalau ada nama yang tertera, sebagian besar hanya penghimpun saja. Karena itu, primbon termasuk kitab yang menjadi timbunan berbagai ngelmu kejawen. Mungkin, kandungan primbon berasal dari leluhur, dari kitab-kitab suluk, kitab-kitab wirid, dan sastra ajaran yang lain. Primbon termaksud ada yang disakralkan, sehingga setiap Malam Selasa Kliwon dan Malam Jemuwah Kliwon juga diberi kutukan kemenyan. Bahkan ada diantara orang Jawa yang membungkus primbon dengan kain mori, diletakkan pada tempat khusus yang tak boleh dibuka oleh anak kecil (Endraswara, 2006: 118-119).
                                                    
Isi primbon berupa aneka ragam pengetahuan yang berkaitan dengan kebutuhan sehari-hari untuk tujuan mendapatkan keselamatan (Sutrisno, 1961: 3). Secara garis besar primbon berisi masalah yang berhubungan dengan kelahiran, perkawinan, kematian, dan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan alam (Subalidinata, 1985: 55), termasuk diantaranya tentang penyakit dan pengobatannya.
Primbon pada zaman dahulu dipakai sebagai acuan penting dalam menentukan sebuah peringatan (kematian, kelahiran, sukuran, membangun rumah dan sebagainya) karena dianggap sebagai sesuatu yang menyangkut  kehidupan kedepan/masa depan individu. Pada zaman dahulu juga masyarakat Jawa masih berpegang teguh pada nilai-nilai yang diwariskan oleh generasi pendahulu, karena seperti yang telah disebutkan diatas, ada suatu perasaan patuh yang didasarkan pada tiga konsep sifat orang Jawa yaitu wedi, isin dan sungkan. Ketiga sifat inilah yang mungkin melatarbelakangi masih digunakannya primbon pada masa sekarang ini.

Primbon mempunyai sejarah yang cukup panjang di dalam tradisi Jawa. Setidak-tidaknya pada abad ke-8, suku Jawa telah mengenal primbon yang terbukti dari adanya prasasti di Candi Perot (772), Haliwangbang (779), dan Kudadu (1216) (Subalidinata, 1985: 52-53). Namun, primbon terlengkap dalam tradisi Jawa baru ditulis pada zaman Kartasura berupa Serat Centhini. Karena itu, di samping dapat dikatakan sebagain salah satu perwujudan primbon, serat ini juga dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk ensiklopedi khas Jawa.

Berbagai jenis resep obat dan pengobatan juga terdapat dalam Serat Centhini. Hal ini dapat dimengerti karena serat ini merupakan serat yang berupa akumulasi berbagai pengetahuan dari berbagai sumber. Serat Centhini ditulis atas perintah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunegara III yang memerintah Surakarta (1820-1823). Dia adalah putra Ingkang Sinuhun Paku Buwono IV (1788-1820). Yang memimpin penyusunan serat ini adalah Ki Ngabehi Ranggasutrasna. Yang mendampingi adalah Raden Ngabehi Yasadipura, Raden Ngabehi Sastradipura. Yang membantu adalah Pangeran Jungut Mandurareja dari Klaten, Kiai Mohammad Minhad dari Surakarta (Amangkunegara III, 1992: iii-iv dalam Sudardi, 2002: 13).

Masyarakat Jawa                                                                                                           
Yang disebut orang Jawa adalah orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa. Ritus religius sentral orang Jawa adalah slametan, yang terungkap nilai-nilai yang dirasakan paling mendalan oleh orang Jawa yaitu nilai kebersamaan, ketetanggaan, dan kerukunan. Dalam sistem kekerabatan orang Jwa keturunan dari ibu dan ayah dianggap sama haknya, dan warisan anak perempuan sama dengan warisan anak laki-laki. Tatanan tradisional terpenting di atas keluarga adalah desa yang berdiri sendiri. Desa merupakan basis agraris masyarakat Jawa. Hubungan sosial didesa sebagian besar berdasarkan sistem gotong royong yang mengenal berbagai bentuk tradisional. Walaupun gotong royong tidak terbatas pada hubungan keluarga namun sistem itu oleh orang desa dipahami sebagai perluasan hubungan kekerabatan yang mempunyai pengaruh kuat atas seluruh kompleks hubungan interpersonal di seluruh desa. Masyarakat Jawa sekarang ini adalah masyarakat yang hidup pada saat ini seiring dengan perkembangan dan kemajuan zaman



Teori Fungsionalisme Struktural              
Teori ini memandang masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan.Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain.Asumsi dasarnya adalah setiap struktur dalam sistem sosial fungsional terhadap yang lain.(George Ritzer,soiologi  ilmu pengetahuan berparadigma ganda 2009:21).Jika teori ini dikaitkan dengan keberadaan primbon jawa ditengah-tengah masyarakat jawa sekarang maka ada semacam perubahan di dalamnya di mana masyarakat Jawa sekarang lebih dituntut untuk berpikir secara rasional dengan mengesampingkan segala hal yang terjadi pada kehidupan sosialnya tidak lagi dikaitkan dengan primbon.Hal ini berakibat masayarakat Jawa sekarang mulai meninggalkan primbon Jawa dengan segala isinya yang oleh masyarakat Jawa terdahulu sangat diyakini kebenarannya.



Pembahasan
Fungsi Primbon
Isi primbon yang berupa aneka ragam pengetahuan yang berkaitan dengan kebutuhan sehari-hari untuk tujuan mendapatkan keselamatan (Sutrisno, 1961: 3). Kendati sistem dalam primbon yang berbelit-belit, namun pada konsep ini terletak konsep metafisis orang Jawa yang fundamental: cocog. Cocog berarti sesuai, sebagaimana kesesuain kunci dengan gembok, obat mujarab dengan penyakit, suatu pemecahan untuk soal matematik, serta persesuaian seorang pria dengan wanita yang dinikahinya (kalau tidak mereka bercerai). Sebagaimana dalam suatu harmoni, hubungan yang paling tepat adalah terpastikan, tertentu dan bisa diketahui. Sistem petungan dalam primbon misalnya, memberikan suatu jalan untuk menyatakan hubungan ini dan dengan demikian menyesuaikan perbuatan seseorang dengan sistem itu. Petungan adalah salah satu bentuk dari primbon yang merupakan cara untuk menghindarkan semacam disharmoni dengan tatanan umum alam yang hanya akan membawa ketidakuntungan (Clifford Geertz, 1989: 38-39).

Pada intinya, fungsi primbon bagi kehidupan masyarakat terutama masyarakat Jawa yang mempercayainya adalah suatu usaha untuk menghindarkan diri dari bencana atau malapetaka yang disebabkan ketidakseimbangan dan ketidakselarasan antara alam. Seperti misalnya pada perhitungan nikah (Endraswara, 2006: 115) menunjukkan bahwa orang Jawa begitu besar dalam memperhatikan keselamatan, sehingga pada akhirnya akan tergolong orang beruntung (begja).

Perspektif Masyarakat Jawa Terhadap Primbon
Perubahan merupakan proses yang wajar, alamiah sehingga segala sesuatu yang ada di dunia ini akan selalu berubah. Perubahan sosial sebagai “cetak biru” pemikiran, pada akhirnya akan memiliki manfaat untuk memahami kehidupan manusia dalam perkaitan dengan lingkungan kebudayaannya. Perubahan sosial bukan lagi akibat pembangunan yang sedang gencar dilakukan oleh seperangkat birokrasi pemerintah, tetapi suatu bentuk perubahan yang benar-benar menjadi keinginan organisme sosial dalam bentuknya yang wajar (alamiah) (Agus Salim, 2002: 2-10).
Begitu pula yang terjadi pada makna primbon yang ada pada pandangan masyarakat Jawa sendiri. Masyarakat Jawa sekarang sudah tidak sepenuhnya menggunakan primbon sebagai landasan mereka dalam menjalani kehidupan.
Orang Jawa yang masih mengagungkan kebudayaannya tidak pernah lepas dari primbon. Pada masa sekarang ini, di tengah-tengah perkembangan dan kemajuan zaman masih ada sebagian orang Jawa yang selalu memakia primbon sebagai pedoman atau landasan mmereka  ketika akan menjalankan acara-acara penting agar pada saat hari pelaksanaannya diberi kelancaran dan keselamatan. Seperti ketika terdapat keluarga Jawa yang akan menggelar acara pernikahan. Jika keluarga tersebut termasuk keluarga yang masih kental adat Jawanya, sebelum menentukan hari pelaksanaan pernikahan, tentu saja diawali dengan petungan-petungan tertentu dalam sesuai primbon.
Primbon pun sekarang dianggap masih fungsional bagi masyarakat. Meskipun tidak sepenuhnya mereka “tunduk” pada ketentuan-ketentuan yang ada pada primbon tersebut, namun mereka masih menggunakannya sebagai landasan dalam mengawali tindakannya. Namun, alasan mereka tetap menjalankan perhitungan primbon tersebut hanya karena mewarisi apa yang sudah ada pada keluarganya turun temurun, sehingga mereka sendiri terkadang tidak tahu makna dibalik dilakukan perhitungan tersebut. Sedangkan alasan lain adalah perhitungan primbon ini hanya dipakai sebagai bahan pertimbangan baik tidaknya tindakan yang akan dijalani. Maka dari itu, daripada mengalami hal-hal yang tidak diinginkan, masyarakat pun terutama masyarakat Jawa tetap menggunakan dan mematuhi perhitungan dalam primbon, agar selalu diberi keselamatan dan agar kehidupannya selaras baik dengan sesamanya, dengan alam lingkungan maupun dengan alam adi kodrati.

Akan tetapi orang Jawa saat ini (modern) dijelaskan dalam (Endraswara, 2006: 4-5) telah terpengaruh nilai-nilai budaya barat yang dapat merusak nilai-nilai budaya dan tradisi yang ada. Kontak antarbudaya satu dengan yang lain, dari detik ke detik akan memoles orang Jawa dan melunturkan tradisi njawani kearah lain.
Pada intinya, perubahan dalam masyarakat Jawa sekarang ini yang kurang begitu memaknai primbon sebagai pedoman hidup dilatarbelakangi oleh pengaruh kebudayaan modern yang masuk. Sedangkan kebudayaan modern tersebut menuntut rasionalitas berpikir. Pengaruh yang lain bersumber dari ajaran agama yang mempercayai apa yang telah digariskan Tuhan.
Masalah mengenai masyarakat jawa sekarang masihkah percaya atau tidak dengan primbon yang oleh orang jawa terdahulu dipakai sebagai patokan bagaimana berperilaku dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari menjadi dilematis, di satu sisi masyarakat Jawa sekarang hidup di era perkembangan zaman yang semakin maju, namun di lain sisi mereka dituntut  untuk melesarikan budaya Jawanya.Di tengah era perkembangan zaman yang semakin maju dituntut untuk hidup dengan berpikir secara logis atau masuk akal, akan tetapi dalam budaya Jawa yaitu Primbon, menjadi pegangan hidup orang-orang Jawa terdahulu(kuno) dalam kehidupan  sehari-hari.Hal ini dilakukan dengan tujuan  agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan misalnya, dalam hal pernikahan harus dilihat hari yang tepat untuk melangsungkan pernikahan agar pasangan hidup rukun dan sejahtera. Akan tetapi perihal primbon Jawa jika dihadapkan dengan perkembangan zaman sekarang ini dianggap tidak logis.Manusia zaman sekarang lebih melihat segala susuatu yang terjadi memang seharusnya terjadi,tidak dikaitkan dengan apapun. Mengenai primbon jawa orang jawa sekarang pun kurang begitu paham akan hali itu,mungkin hanya orang-orang jawa tertentu yang benar-benar mengrti.Ditambah lagi di era maju seperti sekarang ini banyak budaya-budaya asing yang masuk ke Indonesia yang kemungkinan mempengaruhi budaya-budaya local seperti budaya Jawa,sehingga masayarakat Jawa sekarang kurang mengenal bahkan tidak paham nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam budaya Jawa.

       Berbicara mengenai primbon seabagai salah satu dari sekian banyak budaya Jawa, tidak heran masyarakat Jawa sekarang ini tidak begitu mempercayainya karena mereka sudah hidup di zaman yang maju seperti sekaarng ini ditambah lagi keyakinan terhadap agama mereka masig-masing.Hal-hal yang berbau semacam itu mungkin sudah mereka tinggalkan.Primbon sebagai budaya Jawa memang sekarang ini agak ditinggalkan karena dianggap isi didalamnya terlalu njlimet dengan aturan-aturan tertentu yang menuntut mereka(masyarakat Jawa sekarang) harus seperti ini dan itu dalam berkehidupan sehari-hari dan dianggap tidak rasional atau tidalk logis.Hal tersebut terjadi pada masyarakat Jawa sekarang karena pengaruh perkembangan dan kemajuan zaman yang dituntut untuk berpikiran rasional atau logis.
Dalam menerima kenyataan bahwa pandangan masyarakat Jawa pada masa sekarang telah berubah terhadap kebudayaan “Primbon Jawa” dilatarbelakangi oleh adanya pengaruh budaya modern dan juga ajaran agama, maka agar terjadi keseimbangan antara pelestarian nilai-nilai budaya dan juga tuntutan zaman, maka Primbon boleh dipelajari dengan menjadikannya sebagai sebuah referensi budaya untuk memahami manusia Jawa, mengenai bagaimana pola pikir dan falsafah hidupnya. Hanya untuk sekedar tahu dan untuk melestarikan salah satu hasil kebudayaan Jawa, agar tidak sirna termakan arus kemoderenan zaman.
       Adapun 3 tahap dalam mengatasi permasalahan mengenai kebenaran primbon jika dihadapkan dengan kehidupan masyarakat Jawa sekarang ini berdasarkan penjelasan di atas, antara lain :
1.      Tahap Identifikasi 
Bahwa dijelaskan masyarakat Jawa sekarang kurang begitu percaya akan Primbon Jawa sebagai landasan mereka dalam bertindak sehari-hari.Primbon berisi bagaimanaseseorang atau suatu masyarakat harus bertindak agar terhindar dari celaka dengan aturan-aturan tertentu sesuai dengan apa yang akan dilakukan.
2.      Tahap Diagnosis                                                                                                                                                                       
Masyarakat Jawa sekarang lebih dituntut untuk berpikiran secara logis atau lebih rasional sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman sekarang dengan tidak mengaitkan segala hal yang terjadi pada diri manusia(msayarakat) entah baik maupun buruk sebagai akibat mereka tidak memperhitungkan primbon yang ada pada masyarakat Jawa dalam melandasi tindakan yang akan atau sudah dilakukan.

3.      Tahap Treatmen
Dalam mennanggapi masalah antara kebenaran primbon jika dihadapkan dengan kehidupan sekarang ini, di mana masyarakat Jawa sekarang harus berpikir secara logis dengan segala hal yang akan dilakukan sesuai perkembangan zaman yang sudah maju , namun sebagai masyarakat jawa dituntut pula untuk melestarikan budaya Jawa salah satunya adalah Primbon Jawa.Oleh karena itu, solusi yang harus dilakukan masyarakat jawa sekarang tetap dengan pikiran mereka yang logis dalam menanggapi sesuatu hal yang terjadi dalam kehidupan,akan tetapi sebagai masyarakat Jawa juga harus tetap melestarikan budaya Jawa dalam hal ini primbon, dengan cara primbon jawa boleh dipelajari sebagai referensi budaya  untuk memahami manusia Jawa  dengan segala pola pikir dan falsafah hidupnya agar budaya Jawa tidak hilang sejalan dengan kemajuan zaman.

Kesimpulan
       Pada masyarakat Jawa sekarang ini istilah Primbon Jawa sebagai salah satu budaya Jawa sudah mulai ditinggalkan karena dianggap kurang rasional jika dihadapkan dengan kehidupan manusia sekarang ini dan dianggap terlalu njlimet oleh masyarakat Jawa sendiri dengan aturan-aturan tertentu yang mengharuskan mereka harus seperti ini dan itu.  Akan tetapi ada pada sebagian masyarakat Jawa, Primbon dianggap masih fungsional bagi kehidupan mereka sekarang ini. Meskipun tidak sepenuhnya mereka “tunduk” pada ketentuan-ketentuan yang ada pada primbon tersebut, namun mereka masih menggunakannya sebagai landasan dalam mengawali tindakannya. Meskipun demikian primbon Jawa sebagai salah satu dari sekian budaya jawa harus tetap dilestarikan sebagai referensi budaya agar tidak hilang keberadaanya di zaman yang sudah maju seperti sekarang ini.

Adapun 3 tahap dalam mengatasi permasalahan mengenai kebenaran primbon jika dihadapkan dengan kehidupan masyarakat Jawa sekarang ini berdasarkan penjelasan di atas, antara lain :
1.Tahap Identifikasi 
Bahwa dijelaskan masyarakat Jawa sekarang kurang begitu percaya akan Primbon Jawa sebagai landasan mereka dalam bertindak sehari-hari.Primbon berisi bagaimanaseseorang atau suatu masyarakat harus bertindak agar terhindar dari celaka dengan aturan-aturan tertentu sesuai dengan apa yang akan dilakukan.
2.Tahap Diagnosis                                                                                                                                                                       
Masyarakat Jawa sekarang lebih dituntut untuk berpikiran secara logis atau lebih rasional sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman sekarang dengan tidak mengaitkan segala hal yang terjadi pada diri manusia(msayarakat) entah baik maupun buruk sebagai akibat mereka tidak memperhitungkan primbon yang ada pada masyarakat Jawa dalam melandasi tindakan yang akan atau sudah dilakukan.

3.Tahap Treatmen
Dalam mennanggapi masalah antara kebenaran primbon jika dihadapkan dengan kehidupan sekarang ini, di mana masyarakat Jawa sekarang harus berpikir secara logis dengan segala hal yang akan dilakukan sesuai perkembangan zaman yang sudah maju , namun sebagai masyarakat jawa dituntut pula untuk melestarikan budaya Jawa salah satunya adalah Primbon Jawa.Oleh karena itu, solusi yang harus dilakukan masyarakat jawa sekarang tetap dengan pikiran mereka yang logis dalam menanggapi sesuatu hal yang terjadi dalam kehidupan,akan tetapi sebagai masyarakat Jawa juga harus tetap melestarikan budaya Jawa dalam hal ini primbon, dengan cara primbon jawa boleh dipelajari sebagai referensi budaya  untuk memahami manusia Jawa  dengan segala pola pikir dan falsafah hidupnya agar budaya Jawa tidak hilang sejalan dengan kemajuan zaman.

















                                                













DAFTAR PUSTAKA

Endraswara, Suwardi. 2006. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala
Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (The Religion of Java). Jakarta: Pustaka Jaya
Salim, Agus. 2002. Perubahan Sosial: Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana
Subalidinata, R.S. 1985. “Primbon dalam Kehidupan Masyarakat Jawa”. Dalam soedarsono dkk. (Editor). Aksara dan Ramalan Nasib dalam Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara(Javanologi), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Sudardi, Bani. 2002. Konsep Pengobatan Tradisional Menurut Primbon Jawa. Dalam http: //www………………….. (Diunduh pada 31 Maret 2008)
Sutrisno, Eddy T. 1961. Primbon Djawi Adji Wara. Surakarta: Mas
Tjakraningrat, Kanjeng Pangeran Harya. 1983. Kitab Primbon Bektijammal-Adammakna Ayah-Betaljemur (cetakan 2). Yogyakarta: Soemadidjojo Mahadewa
Wasino. 2007. Pandangan Hidup Orang Jawa di Era Global. Bahan Diskusi dalam Seminar Kebudayaan Nasional: Dinamika Sos&Ant Terpadu, Himpro Sosiologi dan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang
Wojowasito dan Poerwadarminta, WJS. 1980. Kamus Lengkap. Bandung: Hasta
Ritzer,george.2009.Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda.Jakarta: Rajawali Pers.








          



PAPER
PERUBAHAN PERSPEKTIF PADA MASYARAKAT JAWA SEKARANG TERKAIT DENGAN PRIMBON JAWA
Untuk Mengganti Ujian Akhir Smester Mata Kuliah
Sosiologi Terapan
Oleh :
Galih Mahardika Christian Putra
3401409065
JURUSAN SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2011













                                                                                         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar