Jumat, 16 Desember 2011

KONTROVERSI UJIAN NASIONAL

Ujian Nasional atau biasa disingkat UN adalah sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang dilakukan oleh Pusat Penilaian Pendidikan Depdiknas di Indonesia dengan berpedoman pada Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003. Pada pasal 57 (ayat 1) dijelaskan bahwa evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.[1] Lebih lanjut, pada pasal 58 (ayat 2) dinyatakan bahwa evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga yang mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistematik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.[2]

Adapun proses pemantauan evaluasi tersebut dilakukan secara berkesinambungan sebagaimana yang dipaparkan dalam pasal 58 (ayat 1) yang pada akhirnya diharapkan mampu membenahi mutu pendidikan. Sementara pembenahan mutu pendidikan itu sendiri dimulai dengan penentuan standar pendidikan atau penentuan penentuan nilai batas (cut off score). Seseorang dikatakan sudah lulus/kompeten bila telah melewati nilai batas tersebut berupa nilai batas antara peserta didik yang sudah menguasai kompetensi tertentu dengan peserta didik yang belum menguasai kompetensi tertentu. Dalam istilah ujian nasional, nilai batas ini disebut juga dengan istilah batas kelulusan atau standar minimum kelulusan.
Mengenai standar pendidikan nasional juga telah diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 yang intinya mengatur delapan macam standar nasional pendidikan, yang mencakup: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan, yang kesemuanya harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.
Kebijakan pemerintah menyelenggarakan Ujian Nasional (UN) - sebagai pengganti Ujian Akhir Nasional (UAN) yang telah dihapus - telah diberlakukan sejak tahun 2005. Menteri Pendidikan Nasional yang pada waktu itu dijabat oleh Bambang Sudibyo dalam jumpa persnya dengan para wartawan pada Rabu 19 Januari 2005 menegaskan bahwa Ujian Nasional diperlukan untuk mengukur keberhasilan belajar peserta didik pada setiap akhir jenjang pendidikan. Pada kesempatan itu, Mendiknas mentargetkan standar nilai nasional dari 4,01 menjadi 4,25.[3] Standar nilai minimum kelulusan tersebut terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, hingga tahun 2011 ini telah menjadi 5,5.
Kebijakan pemerintah RI melalui Mendiknas tentang pelaksanaan Ujian Nasional ini terus menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Memang sebagian kalangan masih menganggap Ujian Nasional memiliki banyak manfaat dalam pengaturan standar ujian akhir, namun sebagian lainnya banyak pula yang beranggapan bahwa kebijakan tersebut tidak tepat. Untuk itulah, melalui makalah sederhana ini penulis mencoba untuk mengulas sedikit tentang Kontroversi Ujian Nasional tersebut dari berbagai sisi. Mudah-mudahan bermanfaat.

A- Sejarah Ujian Nasional
Ujian Nasional adalah kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Ujian Nasional (UN) diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam situs resmi Kementerian Pendidikan Nasional di http://www.kemdiknas.go.id disebutkan bahwa hasil Ujian Nasional yang diselenggarakan oleh pemerintah digunakan sebagai:
  1. Pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan;
  2. Dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya;
  3. Penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan; dan
  4. Dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.
Sebenarnya sistem evaluasi pendidikan untuk tingkat dasar dan menengah yang sekarang kita kenal dengan istilah Ujian Nasional (UN) telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempuraan oleh pemerintah Indonesia. Perkembangan Ujian Nasional tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa periode berikut ini:
1)      Periode 1965 – 1971
Pada periode ini, sistem ujian akhir yang diterapkan disebut dengan Ujian Negara, berlaku untuk hampir semua mata pelajaran. Bahkan ujian dan pelaksanaannya ditetapkan oleh pemerintah pusat dan seragam untuk seluruh wilayah di Indonesia.
2)      Periode 1972 – 1979
Pada tahun 1972 diterapkan sistem Ujian Sekolah. Dengan penerapan ini, setiap atau sekelompok sekolah menyelenggarakan ujian akhir masing-masing. Soal dan pemprosesan hasil ujian semuanya ditentukan oleh masing-masing sekolah/kelompok sekolah. Pemerintah pusat hanya menyusun dan mengeluarkan pedoman yang bersifat khusus.
3)      Periode1980 – 2000
Untuk meningkatkan dan mengendalikan mutu pendidikan serta diperolehnya nilai yang memiliki makna yang “sama” dan dapat dibandingkan antar-sekolah, maka sejak tahun 1980 dilaksanakan ujian akhir nasional yang dikenal dengan sebutan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Dalam Ebtanas dikembangkan sejumlah perangkat soal yang “parallel” untuk setiap mata pelajaran dan penggandaan soal dilakukan di daerah.
4)      Periode 2001 – 2004
Sejak tahun 2001, Ebtanas diganti dengan penilaian hasil belajar secara nasional dan kemudian berubah nama menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN) sejak 2002. Perbedaan yang menonjol antara UAN dengan Ebtanas adalah dalam cara menentukan kelulusan siswa, terutama sejak tahun 2003. Dalam Ebtanas, kelulusan siswa ditentukan oleh kombinasi nilai semester I (P), nilai semester II (Q), dan nilai Ebtanas murni (R), sedangkan pada UAN ditentukan oleh nilai mata pelajaran secara individual.
5)      Periode 2005 – sekarang
Untuk mendorong tercapainya target wajib belajar pendidikan yang bermutu, pemerintah menyelenggarakan Ujian Nasional (UN) untuk SMP/MTs/SMPLB dan SMA/SMK/MA/SMALB/SMKLB.
6)      Periode 2008 – sekarang
Untuk mendorong tercapai target wajib belajar pendidikan yang bermutu, mulai tahun ajaran 2008/2009 pemerintah menyelenggarakan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) untuk SD/MI/SDLB.[4]

B- Pro – Kontra Penyelenggaraan Ujian Nasional
Kebijakan untuk menyelenggarakan Ujian Nasional (UN) dimulai pada tahun 2005 sebagai pengganti Ujian Akhir Nasional (UAN) yang telah dihapus. Penghapusan penyelenggaraan UAN yang sempat diberlakukan sejak tahun 2001 karena dianggap bersifat sentralistik, sehingga berseberangan dengan konsep otonomi pendidikan. Selain itu, kalangan pakar dan praktisi pendidikan menilai bahwa penyelenggaraan Ujian Akhir Nasional (UAN) tersebut rentan terhadap intervensi kepentingan Negara dan juga berakibat pada pengabaian nilai-nilai khas kultural di beberapa wilayah di Indonesia.[5] Sehingga dalam hal ini pemerintah melalui Mendiknas merespon positif kekurangan penyelenggaraan UAN sebelumnya sehingga sekaligus mengganti program tersebut dengan apa yang kita kenal sekarang bernama Ujian Nasional (UN).
Namun kebijakan pemerintah dalam menyelenggarakan Ujian Nasional (UN) sebagai wahana evaluasi dalam perjalanannya masih direspon beragam. Ada yang menilai bahwa keputusan untuk menyelenggarakan Ujian Nasional sudah tepat karena dinilai sebagai sarana yang kuat untuk mencermati kualitas pendidikan di tanah air. Tapi banyak pula pakar dan praktisi pendidikan yang meyakini bahwa UN merupakan gagasan yang kurang mendasar sehingga patut ditolak. Konversi UAN menjadi UN tersebut terkesan hanya sekedar perubahan sebatas lebel nama saja, tapi substansinya tetap sama. Sehingga alasan penolakan kebijakan UN tersebut tidak jauh berbeda dengan alasan penolakan UAN yang sebelumnya diberlakukan.
Paling sedikit ada empat alasan yang memberatkan penyelenggaraan Ujian Nasional tersebut, yaitu:[6]
1) Inkonsistensi dan arogansi eksekutif;
Sikap Mendiknas yang tetap bersikeras mempertahankan UN bisa diterjemahkan sebagai sikap inkonsistensi dan arogansi eksekutif. Dikatakan inkonsisten dan arogansi karena sebelumnya UAN telah disepakati bersama Komisi X DPR serta para pakar dan praktisi pendidikan untuk dicabut dan dihapuskan. Namun Mendiknas kembali menggelar UN sebagai pengganti UAN yang system peneyelenggaraannya hampir sama.
2) Menyalahi konsep otonomi pendidikan;
Baik UAN maupun UN yang dilaksanakan oleh pemerintah melalui Mendiknas disinyalir berseberangan dengan konsep otonomi pendidikan, karena keterlibatan dan campur tangan pemerintah pusat yang begitu dominan. Padahal system penyelenggaraan UAN maupun UN itu cenderung sentralistik, dan tidak mengakomodir pluralitas di masing-masing daerah. Seharusnya yang meluluskan peserta didik dalam jenjang pendidikan tertentu merupakan otoritas masing-masing lembaga pendidikan, bukan pemerintah yang merancang desain Ujian Akhir serta mematok nilai standar minimum kelulusan. Karena pemerintah pusat jelas tidak memahami seluk-beluk pendidikan di daerah-daerah, apalagi jika hendak meluluskan para peserta didik dengan standarisasi soal dan nilai ujian.
3) Mengabaikan nilai-nilai khas cultural;
Masing-masing daerah di Indonesia memiliki kultur yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Dan ketika system UN digunakan sebagai standar nasional yang sentralistik, maka nilai-nilai khas cultural yang dimiliki masing-masing daerah cenderung diabaikan.
4) Rentan terhadap intervensi/kepentingan pemerintah;
Ini merupakan persoalan yang paling rawan dikhawatirkan oleh banyak kalangan. Penyelenggaraan UN dianggap sebagai bentuk intervensi pusat kepada daerah-daerah secara berlebihan.
Lebih jauh, alasan penolakan Ujian Nasional juga pernah dikemukakan dalam sebuah Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Universitas PGRI Adi Buana Surabaya dengan tema “Pro dan Kontra Seputar UNAS” melalui Video Conference pada bulan Juli 2008 lalu yang diikuti secara On Line oleh beberapa Universitas dan Perguruan tinggi serta diikuti secara langsung oleh para pendidik dari beberapa SMU dengan menghadirkan tiga narasumber, masing-masing Prof. Dr. Djaali (Badan Standarisasi Nasional Pendidikan), Dr. Daniel M. Rosyid (Pengamat Pendidikan), dan Dr. Hartanto S, S.Si., ST., M.Pd (Akademisi Universitas PGRI Adi Buana Surabaya). Berdasarkan hasil diskusi tersebut disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
  1. Persoalan pendidikan merupakan problem komplek yang tidak dapat direduksi dengan sebuah wahana yang sifatnya erratic atau tambal sulam. Oleh karenanya Ketika Ujian Nasional difungsikan sebagai indikator keberhasilan pendidikan, dinyatakan tidak signifikan, karena banyak  sekuen yang dilewati. Misalnya standarisasi infra struktur dan proeses pembelajaran.
  2. Ujian Nasional seharusnya diletakkan pada peran istimewanya, yakni meletakkan ujian negara sebagai wahana yang holistic dan bukan atomisitik. Maknanya ujian pertama ditunjukkan sebagai mapping (pemetaan), setelah itu hasil pemetaan untuk perbaikan dalam melaksanakan tugas pembelajaran.
  3. Kesalahan yang paling mendasar ketika terjadi pengambilalihan kompetensi guru sebagai evaluator, dan serasa dirampas sebuah oleh diamanatkan konstitusi bahawa dalam menentukan keberhasilan siswa dilakukan oleh satuan pendidikan. kepentingan Negara. Kenyataan ini mengingkari eksistensi guru, sebagaimana yang
  4. Hingga saat ini tidak nampak tindakan lanjut dari ujian nasional yang dilakukan, misalnya ketika di daerah tertentu nilai ujiannya jelek/hancur, tidak selalu diikuti analisis yang komprehensif, yang kemudian dilakukan tindakan nyata seperti perbaikan proses pembelajaran, pelatihan guru dan perbaikan sarana dan prasarana
  5. Munculnya ketidakberesan dalam ujian nasional, seperti pencurian naskah, pembocoran, pengawasan yang lunak, tidak boleh ditengari sebagai bentuk pelanggaran, namun juga harus diapresiasi sebagai bentuk pembangkangan.
  6. Memberikan rata-rata nilai yang menggabungkan antara mata pelajaran ujian yang satu dengan mata pelajaran lainnya, tidak dapat dicarikan dukungan ilmiahnya, dan tidak memiliki manfaat.
  7. Ujian nasional menunjukan pola sikap yang keliru, karena menfaikkan peran guru. Ujian nasional menunjukkan sikap pemerintah memberikan labeling baru kepada guru, bahwa guru saat ini tidak memiliki wewenang, dan tidak mendapatkan lagi kepercayaan. Jika hal ini berlangsuing secara terbuka dan terus menerus, maka guru kehilangan kewibawaan di depan siswa.
  8. Ujian nasional harus dikembalikan ke jatidirinya, bukan merupakan terobosan semata, untuk kepentingan pragmatis birokrasi, namun kearah yang lebih strategis dan prediktif.[7]

C- Ujian Nasional dan Keputusan MK
Akibat kebijakan pemerintah menetapkan Ujian Nasional membuat sejumlah masyarakat atau warga negara (citizen lawsuit) menggugat Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional, serta Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), yang dinilai lalai memenuhi kebutuhan hak asasi manusia (HAM) di bidang pendidikan. Pada peradilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, gugatan diterima. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta pada 6 Desember 2007 juga menguatkan putusan itu. Hingga akhirnya, MA melarang Ujian Nasional yang diselenggaran Depdiknas melalui surat putusan dengan nomor register 2596 K/PDT/2008 tertanggal 14 September 2009.[8]
Adapun isi gugatan citizen law suit tersebut dapat penulis simpulkan sebagai berikut:[9]
  1. Penggugat menuntut kepada hakim agar para tergugat (Presiden,Wapres, Mendiknas dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan) dinyatakan lalai dalam memberikan perlindungan HAM terhadap warganegara yang menjadi korban ujian nasional.
  2. Penggugat menuntut agar para tergugat mengeluarkan kebijakan pelaksanaan UN ulangan bagi peserta didik yang belum mencukupi standarisasi nilai pada tahun pelajaran 2006 hanya pada mata pelajaran yang dinyatakan belum mencukupi standar serta pernyataan berlaku bagi UN ulangan pada tahun-tahun berikutnya. Pasalnya, para tergugat tidak mengadakan ujian nasional ulangan dan juga menjadikan hasil ujian nasional sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa. Penggugat mendasarkan diri pada pasal 66 ayat 3 PP No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang sebenarnya memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengikuti ujian ulangan dalam tahun ajaran yang sama.
  3. Penggugat menuntut agar para tergugat segera mengambil langkah-langkah konkrit guna mengatasi gangguan psikologis dan mental siswa dalam usia anak akibat penyelenggaraan ujian nasional. Sebagaimana ramai diberitakan di media massa, ada di antara siswa-siswa yang tak lulus ujian nasional mengambil jalan pintas. Misalnya; ada siswa yang mencoba bunuh diri dengan meminum obat serangga ataupun memotong urat nadinya serta ada siswa yang membakar ruang sekolah.
  4. Penggugat menuntut agar para tergugat mengambil tindakan tegas terhadap kebocoran pelaksanaan ujian nasional. Penggugat mendalilkan bahwa banyak terjadi indikasi kebocoran penyelenggaraan ujian nasional, salah satunya di Cilegon-Banten dimana siswa mendapatan bocoran melalui SMS dari guru.
  5. Penggugat menuntut agar para tergugat meminta maaf secara terbuka kepada seluruh warga negara yang disampaikan melalui sepuluh media massa cetak nasional, lima media elektronik TV dan lima media elektronik radio.
Majelis hakim berpendapat bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas mengaturnya. Pengadilan menegaskan sahnya penggunaan prosedur gugatan warga negara atau Citizen Law Suit (CLS) Ujian Nasional. Hal ini tertuang dalam Penetapan Nomor 228 /Pdt G/2006 PN Jakpus (18/9) yang dibacakan oleh Andriani Nurdin selaku hakim ketua yang memeriksa gugatan ini.
Dalam pertimbangannya, meskipun CLS tidak diatur dalam perundang-undangan di Indonesia, bukan berarti hakim tidak memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Seperti yang diamanatkan dalam pasal 16 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan dengan dalil bahwa hukum tidak atau kurang jelas mengaturnya, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Dari keputusan Mahkamah Agung tentang pembatalan Ujian Nasional tersebut, kemudian pemerintahpun mengajukan kasasi, namun MA menolak kasasi yang diajukan pemerintah tersebut. Putusan itu melarang Departemen Pendidikan Nasional menyelenggaran ujian nasional, sebelum ada perubahan sistem pendidikan yang merata.
Meski begitu, putusan hakim tersebut tidak secara eksplisit melarang penyelenggaran ujian nasional. Hakim hanya menyatakan pemerintah lalai dalam memenuhi hak dasar warga negaranya, terutama pendidikan dan hak anak. Hakim lalu meminta pemerintah untuk memperbaiki sistem pendidikan seperti sarana belajar dan kualitas guru secara merata hingga ke pelosok tanah air. [10]
Setelah adanya keputusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi Ujian Nasional yang diajukan oleh pemerintah, Pemerintah melalui Mendiknas Mohammad Nuh kembali melakukan upaya hukum yang terakhir yakni pengajuan peninjauan kembali (PK).[11] Sembari menunggu hasil dari pengajuan PK, Pemerintah tetap melaksanakan Ujian Nasional pada  bulan Maret 2010 yang lalu, meskipun sebelumnya banyak kalangan melakukan penolakan terhadap kebijakan UN tersebut, seperti unjuk rasa di berbagai wilayah, pembuatan akun di situs jejaring sosial facebook, dan lain-lain.
Bahkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai pemerintah telah mengabaikan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan tetap menggelar ujian nasional (UN). Sebab, MK telah memutuskan bahwa ujian nasional dapat dilaksanakan jika pemerintah dapat memenuhi persyaratan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Namum peningkatan tersebut belum terjadi, pemerintah tetap saja melaksanakan Ujian Nasional. Sehingga Komnas HAM juga meminta pemerintah agar mematuhi keputusan MK tersebut.[12]

D- Sistem Penilaian UN 2011
Ujian Nasional yang menjadi agenda tahunan Mendiknas pada mulanya digulirkan mulai awal Januari 2005, dan sejak saat itu pula apresiasi negatif terhadap kebijakan pemerintah ini terus bermunculan. Ketika pemerintah menawarkan standar nilai kelulusan minimum yang setiap tahun terus mengalami peningkatan, banyak pihak pengelola pendidikan dan para siswa yang merasa diberatkan. Hal ini lantaran setiap daerah memiliki kemampuan dan potensi yang berbeda-beda dalam mengelola pendidikan, terutama disebabkan faktor SDM dan sarana pendidikan.
Sepertinya untuk menyahuti berbagai keberatan tersebut, sehingga pelaksanaan UN Tahun 2011 yang digelar mulai Senin, 18 April 2011 untuk tingkat SMA Sederajat (untuk tingkat SMP Sederajat seminggu kemudian) sedikit mengalami kemajuan. Kelulusan Ujian Nasional yang sebelumnya hanya ditentukan oleh Hasil Akhir perolehan siswa di lembaran LJK-UN kini sudah menggunakan sistem penilaian terpadu. Nilai ujian akhir sekolah (UAS) serta nilai rapot semesteran siswa ikut menjadi penentu kelulusan tahun ini. Perubahan penentuan sistem kelulusan UN 2011 ini mengacu kepada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 46 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Ujian Nasional. Mungkin siswa boleh berlega ria lantaran standar kelulusan minimum 5,5 itu akan mudah didapat. Tapi satu hal yang perlu mereka ketahui bahwa tak ada sistem ujian ulang bagi yang tak lulus dalam pelaksanaan UN tahun 2011 ini.

E- Berbagai Kasus dalam Pelaksanaan UN
Setiap kebijakan yang diputuskan tentu tak lepas dari dampak atau akibat dari pelaksanaan kebijakan tersebut, baik berdampak positif maupun berdampak negatif. Begitu juga halnya dengan Ujian Nasional, setiap penyelenggaraannya tak lepas dari berbagai kasus yang bermunculan di sana sini. Kasus-kasus tersebut ada yang menyedihkan, ada pula yang menggelikan.
Kasus yang menyedihkan dunia pendidikan misalnya terjadi pembocoran soal yang dilakukan oleh berbagai oknum, termasuk oknum sekolah. Demi meluluskan peserta didik, beberapa sekolah sempat melakukan kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Nasional tersebut. Jadilah UN yang semula menciptakan pendidikan Indonesia yang berkualitas “berubah” menjadi ajang pembelajaran kecurangan. Para siswa tahu gurunya sedang bercurang-ria. Para siswa sadar bahwa kelulusannya saat itu bukan merupakan hasil usaha mereka. Tapi mereka tak ambil pusing, karena sudah belajar dan terbiasa hidup dalam kecurangan. Kalau ini berlanjut, bukan tak mungkin moralitas generasi penerus bangsa akan berubah menjadi generasi pengecut dan penipu.!
Selain itu ada pula kasus yang menggelikan dunia pendidikan. Bagaimana tidak geli, ujian yang seharusnya disikapi dengan proporsional ternyata disikapi dengan berlebihan oleh sebagai lembaga pendidikan. Seakan ujian nasional merupakan bencana alam dahsyat sehingga harus meminta pertolongan Tuhan dengan ber-istighasah ria semalam suntuk! Entah karena putus asa, atau hanya ‘gaya-gaya’-an sehingga Tuhan pun mesti dilibatkan dalam Ujian Nasional tersebut ‘secara berlebihan’.

F- Penutup
Ujian Nasional yang ditetapkan oleh pemerintah melalui mendiknas merupakan sebuah program yang baik dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, dan itu mutlak diperlukan. Namun harus disadari oleh semua pihak bahwa UN dan peningkatan kualitas pendidikan bukan hanya tugas pemerintah, melainkan semua yang terlibat dalam dunia pendidikan, lebih-lebih lembaga pendidikan. Adapun kecurangan-kecurangan yang terjadi dalam UN dalam berbagai bentuknya bukanlah alasan utama bahwa UN tidak penting. Meski begitu, pemerintah hendaknya harus tetap memperhatikan sekaligus membenahi sarana dan prasarana pendidikan dengan lebih baik lagi. Termasuk memperhatikan aspek kualitas tenaga pengajarnya.
Ada yang lebih penting dari kontroversi ujian nasional, yaitu bagaimana mendidik anak-anak agar memiliki etos belajar dan kerja keras. Ada kekhawatiran yang cukup beralasan, anak-anak Indonesia tumbuh dalam lingkungan sekolah dan sosial yang semrawut sehingga mereka tidak memiliki visi kebangsaan dan tidak memiliki komitmen kemanusiaan serta etos keilmuan yang kuat.
Semoga pendidikan Indonesia mendapat tempat yang tinggi di hati seluruh lapisan masyarakat di negeri ini, amin…


2 komentar:

  1. Mohon untuk mencantumkan sumber referensi demi akurasi data dari artikel yang disadur dari makalah.
    Ada beberapa bagian yang menarik minat saya terkait penjelasan dalam poin 'Berbagai Kasus dalam Pelaksanaan UN', apakah yang ditulis di sana merupakan bentuk konkrit prostes penulis terhadap kebobrokan sistem pendidikan secara menyeluruh?
    Karena menurut saya hal tersebut tidak dapat digeneralisasikan sepenuhnya meskipun pada kenyataannya di sana sini terjadi kejadian serupa.

    BalasHapus
  2. trimakasih sarannya mba...
    itu berasal dari sumber ada deh.... gkgk

    BalasHapus