KEBERADAAN PANCASILA
DAN SILA KETUHANAN YANG MAHA ESA
A. ARTI PENTING KEBERADAAN PANCASILA
Pancasila
sebagai dasar negara memang sudah final. Menggugat Pancasila hanya akan
membawa ketidakpastian baru. Bukan tidak mungkin akan timbul chaos
(kesalahan) yang memecah-belah eksistensi negara kesatuan. Akhirnya
Indonesia akan tercecer menjadi negara-negara kecil yang berbasis agama
dan suku. Untuk menghindarinya maka penerapan hukum-hukum agama (juga
hukum-hukum adat) dalam sistem hukum negara menjadi urgen untuk
diterapkan. Sejarah Indonesia yang awalnya merupakan kumpulan Kerajaan
yang berbasis agama dan suku memperkuat kebutuhan akan hal ini.
Pancasila yang diperjuangkan untuk mengikat agama-agama dan suku-suku
itu harus tetap mengakui jati diri dan ciri khas yang dimiliki setiap
agama dan suku.
B. SILA KETUHANAN YANG MAHA ESA
Sebagai
negara yang bermayoritas penduduk agama islam, Pancasila sendiri yang
sebagai dasar negara Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh agama yang
tertuang dalam sila pertama yang berbunyi sila “Ketuhanan yang Maha Esa”. yang pada awalnya berbunyi “… dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya” yang sejak saat itu dikenal sebagai Piagam Jakarta.
Namun
dua ormas Islam terbesar saat itu dan masih bertahan sampai sekarang
yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menentang penerapan Piagam
Jakarta tersebut, karena dua ormas Islam tersebut menyadari bahwa jika
penerapan syariat Islam diterapkan secara tidak langsung namun pasti
akan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dan secara “fair” hal
tersebut dapat memojokkan umat beragama lain. Yang lebih buruk lagi
adalah dapat memicu disintegrasi bangsa terutama bagi provinsi yang
mayoritas beragama nonislam. Karena itulah sampai detik ini bunyi sila
pertama adalah “ketuhanan yang maha esa” yang berarti bahwa Pancasila
mengakui dan menyakralkan keberadaan Agama, tidak hanya Islam namun
termasuk juga Kristen, Katolik, Budha dan Hindu sebagai agama resmi
negara pada saat itu.
C. BUTIR-BUTIR PANCASILA SILA PERTAMA
Atas
perubahan bunyi sila pertama menjadi Ketuhanan yang Maha Esa membuat
para pemeluk agama lain di luar islam merasa puas dan merasa dihargai.
Searah
dengan perkembangan, sila Ketuhanan yang Maha Esa dapat dijabarkan
dalam beberapa point penting atau biasa disebut dengan butir-butir
Pancasila. Diantaranya:
Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaanya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Manusia
Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan
agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang
adil dan beradab.
Mengembangkan
sikap hormat menghormati dan bekerjasama antra pemeluk agama dengan
penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Agama
dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang
menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing
Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
Dari
butir-butir tersebut dapat dipahami bahwa setiap rakyat Indonesia wajib
memeluk satu agama yang diyakini. Tidak ada pemaksaan dan saling
toleransi antara agama yang satu dengan agama yang lain.
BAB IV
BENTUK KOLABORASI PANCASILA DENGAN AGAMA
· IDEOLOGI PANCASILA SEBAGAI PILIHAN
Keberagaman
agama dan pemeluk agama di Indonesia menjadi sebuah kenyataan yang tak
terbantahkan. Kenyataan ini menuntut adanya kesadaran dari setiap
pemeluk agama untuk menjaga keharmonisan hubungan di antara mereka.
Semua
pemeluk agama memang harus mawas diri. Yang harus disadari adalah bahwa
mereka hidup dalam sebuah masyarakat dengan keyakinan agama yang
beragam. Dengan demikian, semestinya tak ada satu kelompok pemeluk agama
yang mau menang sendiri.
Seperti
yang telah kita ketahui bahwa di Indonesia terdapat berbagai macam suku
bangsa, adat istiadat hingga berbagai macam agama dan aliran
kepercayaan. Dengan kondisi sosiokultur yang begitu heterogen dibutuhkan
sebuah ideologi yang netral namun dapat mengayomi berbagai keragaman
yang ada di Indonesia.
Karena
itu dipilihlah Pancasila sebagai dasar negara. Namun saat ini yang
menjadi permasalahan adalah bunyi dan butir pada sila pertama. Sedangkan
sejauh ini tidak ada pihak manapun yang secara terang-terangan
menentang bunyi dan butir pada sila kedua hingga ke lima. Namun ada
ormas-ormas yang terang-terangan menolak isi dari Pancasila tersebut.
Akibat
maraknya parpol dan ormas Islam yang tidak mengakui keberadaan
Pancasila dengan menjual nama Syariat islam dapat mengakibatkan
disintegrasi bangsa. Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia yang cinta
atas keutuhan NKRI maka banyak dari mereka yang mengatasnamakan diri
mereka Islam Pancasilais, atau Islam Nasionalis.
Konsep
negara Pancasila adalah konsep negara agama-agama. Konsep negara yang
menjamin setiap pemeluk agama untuk menjalankan agamanya secara utuh,
penuh dan sempurna. Negara Pancasila bukanlah negara agama, bukan pula
negara sekuler apalagi negara atheis. Sebuah negara yang tidak tunduk
pada salah satu agama, tidak pula memperkenankan pemisahan negara dari
agama, apalagi sampai mengakui tidak tunduk pada agama manapun. Negara
Pancasila mendorong dan memfasilitasi semua penduduk untuk tunduk pada
agamanya. Penerapan hukum-hukum agama secara utuh dalam negara Pancasila
adalah dimungkinkan. Semangat pluralisme dan ketuhanan yang dikandung
Pancasila telah siap mengadopsi kemungkinan itu. Tak perlu ada ketakutan
ataupun kecemburuan apapun, karena hukum-hukum agama hanya berlaku pada
pemeluknya. Penerapan konsep negara agama-agama akan menghapus
superioritas satu agama atas agama lainnya. Tak ada lagi asumsi
mayoritas – minoritas. Bahkan pemeluk agama dapat hidup berdampingan
secara damai dan sederajat. Adopsi hukum-hukum agama dalam negara
Pancasila akan menjamin kelestarian dasar negara Pancasila, prinsip
Bhineka Tunggal Ika dan NKRI.
Pikirkan
jika suatu kebenaran, kesalahan maupun etika moral ditentukan oleh
sebuah definisi sebuah agama dalam hal ini agama Islam. Sedangkan ketika
anda terlibat didalamnya anda adalah seseorang yang memeluk agama
diluar Islam! Apakah yang anda pikirkan dan bagai mana perasaan di hati
anda ketika sebuah kebenaran dan moralitas pada hati nurani anda
ditentukan oleh agama lain yang bukan anda anut?
Sekarang
di beberapa provinsi telah terjadi, dengan alasan moral dan budaya maka
diterapkanlah aturan tersebut. Sebagai contoh, kini di sebuah provinsi
semua wanita harus menggunakan jilbab. Mungkin bagi sebagian kecil orang
yang tinggal di Indonesia merupakan keindahan namun bagai mana dengan
budaya yang selama ini telah ada? Jangankan di tanah Papua, pakaian
Kebaya pun artinya dilarang dipakai olah putri daerah. Bukankah ini
merupakan pengkhianatan terhadap kebinekaan bangsa Indonesia yang begitu
heterogen. Jika anda masih ragu, silakan lihat apa yang terjadi di
Saudi Arabia dengan aliran Salafy Wahabinya. Tidak ada pemilu, tidak ada
kesetaraan gender dan lihat betapa tersisihnya kaum wanita dan penganut
agama minoritas di sana. Jika memang anda cinta dengan Adat, Budaya dan
Toleransi umat beragama di Indonesia dukung dan jagalah kesucian
Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa.
· KONTROVERSI PANCASILA
Sebagai
dasar negara RI, Pancasila juga bukanlah perahan murni dari nilai-nilai
yang berkembang di masyarakat Indonesia. Karena ternyata, sila-sila
dalam Pancasila, sama persis dengan asas Zionisme dan Freemasonry.
Seperti Monoteisme (Ketuhanan YME), Nasionalisme (Kebangsaan), Humanisme
(Kemanusiaan yang adil dan beradab), Demokrasi (Musyawarah), dan
Sosialisme (Keadilan Sosial). Tegasnya, Bung Karno, Yamin, dan Soepomo
mengadopsi (baca: memaksakan) asas Zionis dan Freemasonry untuk
diterapkan di Indonesia.
Selain
alasan di atas, agama-agama yang berlaku di Indonesia tidak hanya
Islam, tetapi ada Kristen Protestan dan Katolik, Hindu, Budha, bahkan
Konghucu. Kesemua agama itu, menganut paham atau konsep bertuhan banyak,
bahkan pengikut animisme. Hanya agama Islam saja yang memiliki konsep
Berketuhanan YME (Allahu Ahad).
Pada
masa pra kemerdekaan tatanan sosial masyarakat di Nusantara, kebanyakan
terdiri dari Kerajaan-kerajaan Hindu. Dari sistem monarkis seperti ini,
belum dikenal konsep musyawarah untuk mufakat; tetapi yang berlaku
adalah sabda pandita ratu. Rakyat harus tunduk dan patuh pada titah sang
raja tanpa reserve. Sekaligus, minus demokrasi, karena kedudukan raja
diwarisi turun temurun. Kala itu, tidak ada persatuan. Perpecahan,
perebutan kekuasaan dan wilayah, selalu mengundang pertumpahan darah.
Sejak
awal, Pancasila agaknya tidak dimaksudkan sebagai alat pemersatu,
apalagi untuk mengakomodir ke-Bhinekaan yang menjadi ciri bangsa
Indonesia. Tetapi untuk menjegal peluang berlakunya Syari’at Islam. Para
nasionalis sekuler, terutama Non Muslim, hingga kini menjadikan
Pancasila sebagai senjata ampuh untuk menjegal Syariat Islam, meski
konsep Ketuhanan yang terdapat dalam Pancasila berbeda dengan konsep
bertuhan banyak yang mereka anut. Mereka lebih sibuk menyerimpung orang
Islam yang mau menjalankan Syariat agamanya, ketimbang dengan gigih
memperjuangkan haknya dalam menjalankan ibadah dan menerapkan ketentuan
agamanya. Bagaimana toleransi bisa dibangun di atas konstruksi filsafat
yang menghasilkan anarkisme ideologi seperti ini?
Pancasila,
sudah kian terbukti, cuma sekadar alat politisi busuk yang anti Islam,
namun mengatasnamakan ke-Bhinekaan. Padahal, bukan hanya Indonesia yang
masyarakatnya multietnis, multi kultural, dan multi agama. Di Amerika
Serikat, untuk mempertahankan ke-Bhinekaannya mereka tidak perlu
Pancasila, begitu pun negara jiran Malaysia. Nyatanya, mereka justru
lebih maju dari Indonesia.
Kenyataan
ini, betapapun pahitnya haruslah diakui secara jujur. Sayangnya,
sejumlah pejabat dan mantan pejabat di negeri ini, belum juga siuman
dari mimpinya tentang kemanusiaan yang adil dan beradab, sebagaimana
sila kedua Pancasila. Sedang sejarah membuktikan, apa yang dilakukan
rezim penguasa selama 60 tahun Indonesia merdeka, justru penindasan
terhadap kemanusiaan.
Dalam
memperingati hari lahir Pancasila, 4 Juni 2006, di Bandung, muncul
sejumlah tokoh nasional berupaya memperalat isu Pancasila untuk
kepentingan zionisme. Celakanya, mereka menggunakan cara yang tidak
cerdas dan manipulatif. Dengan berlandaskan asas Bhineka Tunggal Ika,
mereka memosisikan agama seolah-olah perampas hak dan kemerdekaan bangsa
Indonesia. Segala hal yang berkaitan dengan agama dianggap membelenggu
kebebasan. Kebencian pada agama, pada gilirannya, menyebabkan parameter
kebenaran porak-poranda, kemungkaran akhlak merajalela. Kesyirikan,
aliran sesat, dan perilaku menyesatkan membawa epidemi kerusakan dan
juga bencana.
Anehnya,
peristiwa bencana gempa bumi yang menewaskan lebih dari 6000 jiwa di
Jogjakata, 27 Mei 2006, malah yang disalahkan Islam dan umat Islam.
Seorang paranormal mengatakan,”Bencana gempa di Jogjakarta, terjadi
akibat pendukung RUU APP yang kian anarkis.” Lalu, pembakaran kantor
Bupati Tuban, cap jempol atau silang darah di Jatim, yang dilakukan
anggota PKB dan PDIP, dan menyatroni aktivis FPI, Majelis Mujahidin, dan
Hizbut Tahrir. Apakah bukan tindakan anarkis? Jangan lupa, Bupati
Bantul, Idham Samawi, yang daerahnya paling banyak korban gempa bumi
berasal dari PDIP.
Tidak
itu saja. Upaya penyeragaman budaya, maupun moral atas nama agama, juga
dikritik pedas. “Bhineka Tunggal Ika sebagai landasan awal bangsa
Indonesia harus dipertahankan. Masyarakat Indonesia beraneka ragam,
sehingga tindakan menyeragamkan budaya itu tidak dibenarkan,” kata
Megawati. Penyeragaman yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Akbar
Tanjung,”Keberagaman itu tidak dirusak dengan memaksakan kehendak. Pihak
yang merongrong Bhineka, adalah kekuatan-kekuatan yang ingin
menyeragamkan.”
Padahal,
justru Bung Karno pula orang pertama yang mengkhianati Pancasila.
Dengan memaksakan kehendak, ia berusaha menyeragamkan ideologi, budaya,
dan seni. Ideologi NASAKOM (Nasionalisme, agama, dan komunis) dipaksakan
berlaku secara despotis. Demikian pula, seni yang boleh dipertunjukkan
hanya seni gaya Lekra. Sementara yang berjiwa keagamaan dinyatakan
sebagai musuh revolusi. Begitu pun Soeharto, berusaha menyeragamkan
ideologi melalui asas tunggal Pancasila. Hasilnya, kehancuran.
· PEMAHAMAN DAN PELANGGARAN TERHADAP PANCASILA SAAT INI
Ideologi
Pancasila merupakan dasar negara yang mengakui dan mengagungkan
keberadaan agama dalam pemerintahan. Sehingga kita sebagai warga negara
Indonesia tidak perlu meragukan konsistensi atas Ideologi Pancasila
terhadap agama. Tidak perlu berusaha mengganti ideologi Pancasila dengan
ideologi berbasis agama dengan alasan bahwa ideologi Pancasila bukan
ideologi beragama. Ideologi Pancasila adalah ideologi beragama.
Sesama
umat beragama seharusnya kita saling tolong menolong. Tidak perlu
melakukan permusuhan ataupun diskriminasi terhadap umat yang berbeda
agama, berbeda keyakinan maupun berbeda adat istiadat.
Hanya
karena merasa berasal dari agama mayoritas tidak seharusnya kita
merendahkan umat yang berbeda agama ataupun membuat aturan yang secara
langsung dan tidak langsung memaksakan aturan agama yang dianut atau
standar agama tertentu kepada pemeluk agama lainya dengan dalih
moralitas.
Hendaknya
kita tidak menggunakan standar sebuah agama tertentu untuk dijadikan
tolak ukur nilai moralitas bangsa Indonesia. Sesungguhnya tidak ada
agama yang salah dan mengajarkan permusuhan.
Agama yang diakui di Indonesia ada 5, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Budha dan Hindu.
Sebuah
kesalahan fatal bila menjadikan salah satu agama sebagai standar tolak
ukur benar salah dan moralitas bangsa. Karena akan terjadi chaos dan
timbul gesekan antar agama. kalaupun penggunaan dasar agama haruslah
mengakomodir standar dari Islam, Kristen, Katolik, Budha dan Hindu bukan
berdasarkan salah satu agama entah agama mayoritas ataupun minoritas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar